Uang Saku Istimewa

Alhamdulillah selama 2 pekan ini, saya mengusahakan anak-anak selalu bawa bekal snack dari rumah. Snack yang insyaAllah padat gizi menurut saya, hehe. Semuanya saya usahakan homemade tanpa UPF (ultra processed food). UPF itu ya semacam makanan-makanan kemasan yang kalau dilihat komposisinya sudah jelas bukan bahan-bahan alami. Otomatis setiap hari mereka tidak saya beri uang saku.

Sebelumnya, karena ke”gagap”an saya menyiapkan bekal dari rumah, saya cukup sering memberikan uang saku kepada anak-anak, meski dengan hati yang sedikit resah, karena tahu kantin sekolah belum banyak menyediakan makanan sehat sekaligus mengenyangkan untuk anak-anak. Artinya, setiap hari anak-anak makan UPF.

Hari ini saya buka kulkas sudah kosong di beberapa rak, bahan baku untuk membuat bekal pun hampir tidak ada. Sehingga saya pikir anak-anak saya beri uang saku saja hari ini? Namun, alhamdulillah ada sedikit makanan yang bisa dibekalkan ke mereka, diantaranya pisang goreng (dengan tepung beras dan maizena) yang dari rupanya sebenarnya kurang menarik di mata. Plus, karena bekal hari ini tidak sepadat bekal hari-hari sebelumnya, saya beri mereka ekstra uang saku masing-masing 5000 rupiah.

“Yeeeeay”, mereka kompak memekik dan berekspresi yang sama. Dalam hati saya, “Oh jadi se-istimewa itu ya bagi mereka kalau diberikannya tidak terlalu sering”. Padahal sebelumnya ekspresi mereka biasa saja kalau diberi uang saku. Ini kaidah umum sih sebenarnya, bahwa banyaknya intensitas mengurangi sensitivitas, maksudnya kalau keseringan jadi B aja gitu ya.

Oke, jadi selanjutnya bawa uang sakunya sebulan sekali saja bagaimana Nak? Hehehe. Biar emak yang memutar otak bagaimana menyiapkan bekal yang ga begitu-begitu aja dari rumah.

Kreasi Aliya

Aliya suka berkreasi, dengan bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Kreasinya unik-unik dan terpenting Aliya sangat puas dengan hasil-hasilnya.

Aliya juga suka menempelkan hasil kreasinya di dinding rumah. Jadi, tidak heran kalau ada beberapa kreasi Aliya di beberapa sisi dinding rumah. Menempelnya pun tidak beraturan, ada di ruang tamu, kamar tidur, dekat pintu, sesuka-sukanya Aliya. Saya kadang tidak tahu kapan benda-benda unik itu ditempel, tahu-tahu sudah ada, lalu saya hanya ternganga dan mengelus dada, tapi tetap saya apresiasi.

Selain berkreasi, Aliya juga suka berbagi. Suatu hari, Aliya membuat tas dari bahan kertas origami. Awalnya ia hanya membuat untuknya dan untuk saya, lalu Aliya buatkan juga untuk teman-temannya, dengan inisiatif sendiri.

Kemarin, Aliya membuka ‘sekolah’ di rumah. Aliya menyiapkan buku tulis sendiri untuk teman-temannya belajar nanti. Terdiri dari beberapa lembar kertas HVS yang direkatkan dengan double tip lalu bagian mukanya dihias dengan kertas origami.

Hari-hari yang lain Aliya juga pernah membuat dasi, dompet, bunga, HP, dan kemarin Aliya baru saja membuat topi. Semua Aliya kerjakan sendiri, dengan minim bantuan. Kadang-kadang ia frustasi lalu merengek ketika ada kesulitan yang ia sendiri tidak bisa atasi. Baru disitu saya turun tangan membantu atau memberikan instruksi.

Segi ini sudah bagus. Tinggal memperbaiki prosesnya, yaitu bagaimana Aliya bisa menuntaskan kegiatan berkreasinya sampai tahap ia merapikan kembali barang-barangnya sehabis dipakai.

Aliya Berteman

Aliya pada dasarnya suka berteman dan bermain bersama teman-teman, di Balikpapan ia bermain dengan teman-teman seumuran kakaknya, di Makassar juga demikian. Meski begitu, ia tidak menyebut mereka teman-temannya. Itu teman Akhtar, katanya.

Kemudian kami pindah lagi ke Padalarang. Dulu waktu kami meninggalkan Padalarang, Aliya belum genap 2 tahun, dan gang rumah relatif sepi terutama karena tidak terlihat ada anak-anak.

Hampir tiga tahun berlalu, ketika kembali kesini, Aliya sudah 5 tahun. Di sebelah rumah ada anak perempuan yang hampir seusianya. Di ujung gang dan naik sedikit dari ujung gang juga ada anak-anak perempuan yang seumuran. Saya bilang, itu teman-teman Aliya. Tapi Aliya marah kalau saya bilang begitu.

Aliya seperti tidak suka berteman, bahkan suatu waktu dia pernah langsung masuk rumah ketika di ujung gang terdengar ramai suara anak-anak bermain. Kata Aliya, Aliya takut. Takut apa? Takut diajak main. Lho…

Selama beberapa lama Aliya selalu marah setiap saya atau kakaknya menggoda, itu teman-teman Aliya, sambil kami menunjuk ke arah anak-anak perempuan yang terkadang mengintip dari luar pagar rumah kami. Dia akan terlihat sangat kesal, sedikit memekik, bahkan menangis.

Padahal sebenarnya ia terbiasa kok berinteraksi dengan anak-anak lain. Ia main dengan sepupu jauhnya di dekat rumah Nin, atau dengan sepupu-sepupu dekatnya kalau mereka pas lagi mudik ke Bandung.

Hingga suatu hari, kami menemukan bayi kucing yang kemudian kami pelihara selama kurang lebih 2 pekan sebelum akhirnya mati (duh sedih kalau ingat ini). Satu hari, Aliya meminta izin kepada saya untuk membawa bayi kucing ke teras rumah, rupanya ia ada niat menunjukkan, atau memamerkan kali ya, bayi kucing itu ke anak-anak perempuan yang sedang bermain di gang.

Tidak berapa lama, dari dalam rumah saya mendengar suara Aliya sedang bercakap-cakap dengan anak-anak itu. Tidak menunggu lama, dia sudah membuka pintu gerbang rumah lalu keluar dan bermain bersama anak-anak itu. Ya, semua ada waktunya.

Kini, hampir tidak ada hari tanpa bermain keluar rumah bagi Aliya. Mendengar suara anak-anak saja ia langsung minta keluar rumah. Tidak selalu saya izinkan. Biasanya saya bolehkan keluar ketika matahari sudah sedikit condong ke barat, sekitar jam 2 siang atau menuju sore.

Masalahnya, entah masalah atau bukan ya ini, Akbar selalu ingin ikut Aliya main keluar. Sejauh ini alhamdulillah aman, tapi saya sering merasa ga tenang. Seringkali saya bolak balik menengok keluar untuk memastikan Akbar terlihat aman.

Biarin Aja

Saya sedang berada di dapur ketika tiba-tiba terdengar suara Akbar menangis dari ruang tengah. Saya memasang telinga lebih tajam untuk memastikan tidak ada hal berbahaya yang harus ditangani segera. Alih-alih segera menghampiri, saya justru mengendap-endap menjauh dari anak-anak, sambil terus menajamkan pendengaran.

Terdengar suara Akbar yang masih menangis, lalu suara Akhtar yang meminta maaf, sepertinya sambil menenangkan adiknya itu. Beberapa lama kemudian suasana terdengar lebih tenang, sepertinya masalah sudah selesai?

“Ooh gitu caranya”, batin saya.

Selama ini seringkali saya terlalu cepat mengambil alih situasi di kejadian serupa itu. Saya terlalu reaktif ketika mendengar ada salah seorang anak menangis, atau segera melerai dan mencoba ikut menyelesaikan ketika ada “perseteruan” di antara mereka. Kadang saya memaksa seseorang yang saya anggap bersalah untuk meminta maaf kepada yang lainnya. Permintaan maaf itu mungkin terucap tapi tidak ada ketulusan disana.

Jurus “biarin aja” ini juga saya terapkan ketika Aliya dan Akbar berebut sesuatu. Jadi, seumur-umur punya anak, rasanya baru kali ini saya jadi sering menyaksikan anak-anak berebut benda, entah itu mainan, buku, makanan, dll, dan tidak mau saling mengalah. Saya kadang berpikir, kenapa dulu ngga gitu? Sampai akhirnya beberapa waktu lalu teringat fakta bahwa…

Akhtar dan Ahnaf jarang sekali berebut karena Akhtar cenderung mendominasi, sementara Ahnaf memilih berdamai dengan keadaan. Ahnaf dan Aliya jarang berebut karena mereka saling mencocoki satu sama lain, sering se-iya sekata dan saling berbagi kesenangan. Sekarang Aliya dan Akbar sering sekali berebut karena dua-duanya punya karakter kuat dan ingin saling mengalahkan, ya sesuatu yang wajar untuk seumur mereka.

Biasanya saya sering meminta Aliya yang mengalah, alasannya dia sudah lebih mengerti dan (mungkin) menerima jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan, sementara Akbar kan ngga bisa. Ternyata ngga gitu caranya. Aliya tidak harus selalu mengalah, karena belum tentu ia yang bersalah. Malah seringnya Akbar yang merebut apa yang ada di tangan Aliya.

Beberapa hari ini, ketika sudah muncul bibit-bibit “persaingan” di antara Aliya dan Akbar, saya akan mengambil jarak dan memantau apa yang terjadi. Tidak terlihat “lebih baik” sih, mereka akan terus berebut sampai tangis salah satu diantara mereka pecah. Nanti yang “kalah” rebutan itu yang akan mencari saya.

Disitu saatnya saya mendengarkan dan berempati.

Ternyata cara ini cukup berhasil menurunkan tingkat stress saya ke level yang lebih rendah. Hehe.

Pulang ke Jember

Salah satu agenda kami waktu liburan di Surabaya kemarin adalah mengunjungi Jember, sebagai misi menunaikan janji kami kepada Akhtar untuk melihat kota kelahirannya.

Saya mengatakannya pulang, karena meski hanya sempat tinggal 6 bulan di kota ini, 10 tahun lalu, Jember adalah kota yang senantiasa membuat dada saya bergemuruh setiap mengingatnya. Saya selalu rindu untuk kembali kesana, meski bukan untuk tinggal.

Semua tidak terlepas karena Akhtar lahir disana. Hari pertama saya menjadi ibu ya di Jember. Meskipun kejadian di sekitar kelahiran Akhtar bukan masa-masa menyenangkan buat saya, sebagaimana duluu sekali pernah saya tulis juga di blog ini, tapi itu kejadian lalu, yang alhamdulillah saya berusaha berdamai dengannya.

Belum lagi, sebagai anak pertama Akhtar banyak menanggung kebodohan saya sebagai ibu yang tidak berilmu, sehingga dulu saya sering meminta maaf kepada Akhtar dalam banyak kesempatan. Namun, itu kejadian lalu. Suatu hari Akhtar bilang, “Ya udah, kan udah takdir”. Dan itu meluruhkan segala perasaan bersalah saya.

Perjalanan ke Jember waktu itu bukan perjalanan yang singkat. Kami terjebak macet cukup parah di daerah Lumajang, baik ketika berangkat maupun pulangnya. Lewat siang kami baru memasuki perbatasan kabupaten Jember. Mendekati wilayah perkotaan Jember, cercahan memori kembali bermunculan. Saya benar-benar merindukan kota ini.

Seluruhnya perjalanan kami di Jember adalah perjalanan yang menyenangkan. Makan di restoran seafood tempat kami dulu pernah makan, melewati rumah yang dulu pernah kami tinggali, minum susu murni jahe favorit saya di pujasera PB Sudirman, bermain di alun-alun kota, yang dulu belum pernah kesampaian. Dipungkasi mengunjungi Pantai Papuma yang pernah kami kunjungi satu atau dua bulan setelah menikah.

Dan tentu saja, agenda wajib kami adalah mengunjungi rumah sakit Jember Klinik tempat lahir Akhtar. Saya sudah tidak mengenali tempat ini dengan kondisinya yang sudah jauh lebih bagus sekarang, bangunan bagian depan tempat saya dirawat dulu sudah dirombak habis-habisan. Dulu bangunannya hanya berupa bangunan tua yang sekilas seperti kurang terawat.

Saya merasakan buncahan perasaan haru yang tidak bisa dijelaskan.

Kami hanya bermalam satu malam di Jember. Rasanya masih ingin tinggal, tapi waktu tidak memungkinkan. Semoga suatu hari bisa berkunjung lagi kesana, dengan sekalian melewati Kota Pasuruan yang kemarin tak sempat tersambangi.

Yang Dibutuhkan IRT

…. (salah satunya) adalah empati.

IRT itu adalah salah satu profesi, yang seringkali ga kelihatan jejak hasil kerjanya secara fisik. Ketika rumah terlihat berantakan pada pagi hari, kondisi tersebut mungkin akan terlihat sama pada sore harinya, seperti tidak dibereskan sama sekali. Padahal sesiangan sudah dirapikan berulang kali. Maka, tak heran, IRT sering jadi sasaran pertanyaan bernada sindiran, “Ngapain aja seharian?”.

Sejujurnya, kalimat itu adalah salah satu kalimat yang saya benci, menunjukkan rendahnya empati si pemberi pertanyaan. Biasanya, saya hanya menanggapi dengan senyuman yang demikian, kadang-kadang saya jawab singkat, “Ga ngapa-ngapain”.

Jangan salah, mungkin saya pun pernah di posisi si penanya, ketika saya belum berstatus IRT, bahkan sebelum saya menikah. Rendahnya empati rupanya dipengaruhi juga oleh faktor pengalaman si penanya. Ya, saya pun pernah berada di fase nyinyir terhadap ibu yang anaknya lekat banget dengan ART, “Ibunya ngapain aja?” nyinyir saya dalam hati. Atau ketika di keramaian seorang anak tantrum ga ketulungan, saya membatin, “Nenangin anak sendiri apa susahnya?”. Ketika mengalami sendiri… JEDARRR.. (ekspresi macam apa ini?), yang saya lakukan mungkin tidak lebih baik dari ibu-ibu yang saya nyinyirin itu, bahkan bisa jadi saya lebih buruk??

Luas atau sempitnya sudut pandang kita sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, dan juga ternyata dipengaruhi oleh sedikit atau banyaknya skill yang kita miliki. Apa hubungannya? Hikmah ini saya dapat ketika akhir tahun 2022 lalu saya les menyetir. Melenceng dikit dari judul sih ya.

Sebelum masa itu, saya memandang profesi tukang parkir (terutama yang ujug-ujug muncul ga ketahuan asal mulanya) dan polisi gopek dengan pandangan remeh. Saya menganggap mereka ga penting bahkan mengganggu, bahkan lebih buruk lagi saya pikir mereka itu pengangguran yang cuma mau minta recehan dari pengguna jalan. Pandangan saya berubah setelah saya belajar menyetir. Saya merasa mereka memang dibutuhkan. Terutama oleh saya yang amat sangat pemula dalam bidang ini.

Misalnya ketika harus putar arah di U-turn di jalanan yang cukup ramai, saya berharap disitu ada polisi gopek yang membantu menghentikan kendaraan dari arah berlawanan. Jangankan gopek, seceng atau noceng pun sepertinya rela saya kasih. Atau, ketika belajar memarkir mobil, ternyata ucapan “Teroos teroos teroos, es teroos, heup” itu sangat membantu.

Pada akhirnya saya pikir kita memang butuh untuk berempati dalam berbagai situasi, terhadap siapapun di luar diri kita. Kita perlu berempati, terutama terlebih dahulu kepada orang-orang terdekat kita… orangtua, pasangan, dan anak-anak kita. Dan kepada yang lainnya.

Mencoba Hidup Sehat

Saya menulis ini untuk menguatkan tekad saya untuk hidup lebih sehat. Biasanya sesuatu yang tertulis akan lebih tertancap kuat di hati dan di kepala, sekaligus menimbulkan rasa malu jika suatu waktu melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang ditulis.

Setelah sekian lamaaaa hanya jadi wacana, akhirnya saya mencobanya beberapa hari terakhir ini. Saya ingin memulai dengan merubah pola makan. Yang mulai saya lakukan adalah dengan mulai melihat lagi beberapa akun IG yang saya jadikan panduan dalam diet sehat ini, akun yang sebenarnya sudah saya follow selama sekian lama. Untuk lebih fokus, bahkan saya membuat akun IG baru, tujuannya hanya untuk mem-follow orang-orang tersebut, dan alhamdulillah ternyata berdampak baik.

Saya termotivasi untuk memulainya sekarang juga, tidak di-“nanti-nanti”, setelah menerima sinyal tubuh yang sepertinya mulai bermasalah. Seperti irama jantung yang kadang ga beraturan (sangat jarang terjadi, tapi cukup mencemaskan), kadang ada sensasi sedikit “peureus” di dada atas bagian kiri, apa atuh ya bahasa Indonesianya “peureus” tuh, tidak jarang merasa cepat lelah letih lesu, belum lagi kulit wajah yang sangat sering berkomedo dan kering, sehingga saya menghabiskan banyak waktu untuk membersihkannya. Sementara, kalau saya ditakdirkan Allah untuk memiliki umur yang lebih panjang, saya ingin menjalani masa tua dengan sehat, tidak membebani orang lain, terutama orang-orang terdekat, dan ingin maksimal dalam beribadah.

Pada prinsipnya, makan sehat itu makan sealami mungkin. Dan beberapa prinsip lainnya, yang sebagai pemula sepertinya tidak bisa saya ceritakan semuanya. Karena saya pun melakukannya secara bertahap. Tapi, saya sendiri untuk saat ini menyimpulkan, makan sehat itu makan seperti orangtua kita makan duluuu, dimana masa itu jajanan warung belum semerajalela seperti sekarang, saus-sausan kemasan dan bumbu instan tidak dijadikan pilihan, pertanian masih jauh lebih bersih dari pestisida, para petani mengelola tanahnya secara organik. Semakin alami, semakin sehat.

Tapi untuk tahap awal ini, saya tidak ingin terlalu membebani diri dengan sesuatu yang saya tidak mampu. Yang penting lakukan dulu langkah pertama dan jangan mundur. Misalnya, sayuran yang organik tentu jauh lebih baik daripada yang tidak, namun saya tidak membebani harus makan organik mengingat barang tersebut susah didapat dan relatif mahal. Maka makan sayuran yang ada di pasar saja, dengan penanganan yang lebih ekstra, misalnya dengan merendamnya terlebih dahulu dalam larutan baking soda untuk mengurangi kandungan pestisidanya.

Saya pun tidak yang ujug-ujug anti segala jenis makanan yang dicoret dari diet makan sehat, namun saya mengurangi sebanyak-banyaknya makanan, terutama dari jenis UPF, dan alhamdulillah sejauh ini bisa mengontrol diri untuk tidak memakan makanan dari jenis ini, sesekali masih makan segigit dua gigit, menghabiskan sisa makanan anak-anak.

Lho, jadi anak-anak ga ikutan diet makan sehat? Pada prinsipnya mereka akan makan yang kita makan, mereka makan apapun yang saya masakkan. Jadi, sebelum ingin mengubah orang lain, saya harus mengubah kebiasaan saya sendiri dulu, dengan lebih rajin “nguprek” di dapur dan belanja ke pasar tradisional daripada scrolling makanan cepat saji di aplikasi grab atau gofood. Dan alhamdulillah sepekan kemarin anak-anak dominan saya bekalkan makanan sehat ke sekolah.

Alhamdulillah untuk pekan ini, semua karena pertolongan Allah. Semoga Allah mudahkan untuk pekan kedua, dan seterusnya.

Alhamdulillah, Akbar “Nyandu” YouTube

Iya, jadi dia “teu kaop” lihat HP atau laptop maunya langsung nonton kereta api di YouTube. Negatif? Tentu saja sangat negatif. Tapi disini saya berusaha menggali dampak positifnya, untuk interaksi saya dengan HP, terutama.

Jadi, seingat saya, semua diawali di bulan Ramadhan terakhir kemarin (sekitar 4 bulan yang lalu) dimana sebagaimana di Ramadhan-Ramadhan sebelumnya saya bertekad untuk beribadah sebaik-baiknya, meski tak jarang jauh panggang dari api. Sehingga saya berdoa agar bisa menjalani Ramadhan ini dengan jauh berkualitas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Entah lah awal mulanya bagaimana, Akbar waktu itu menjadi selalu sangat ingin menonton HP setiap kali HP itu dinampakkan di depannya. Awal-awal, untuk menghindari konflik, akhirnya saya beri HP setiap kali HP “ketahuan”, lelah kan ya menghadapi anak nangis sementara kita sedang puasa. Dan meskipun saya melihat HP secara sembunyi-sembunyi tetap saja Akbar bisa tahu gestur saya yang sedang melihat HP. Akhirnya saya putuskan untuk menyimpan HP terutama ketika Akbar bangun.

Dan dampaknya ternyata justru baik bagi saya. Terutama, ketika itu adalah Ramadhan. Misalnya yang paling nyata, biasanya sambil menyusui saya tidak menjauhkan HP dari jangkauan saya, namun sejak itu, saya selalu mencari buku atau Alquran terjemah dulu sebelum menyusui Akbar, biasanya saya izin dulu ke Akbar yang sudah tidak sabar di atas kasur, “Sebentar ya, Mim ambil dulu buku atau Alquran”. Dan alhamdulillah, dia sekarang mengasosiasikan kegiatan menyusu dengan kegiatan membaca bagi Mim.

Dan secara keseluruhan, intensitas saya pegang HP dalam sehari berkurang jauh sejak saat itu. Memang hikmah Akbar nyandu HP itu tidak langsung saya rasakan sejak hari-hari pertama Akbar seperti itu, sekian lama berlalu baru saya merasa bahwa, “Oh ini mungkin cara Allah agar saya memanfaatkan waktu dengan lebih baik”. Alhamdulillah…

Kembali ke Rumah

Disini lah rumah saya di dunia maya, di blog ini, yang tidak terasa sudah saya kelola selama 15 tahun. 15 tahun tanpa keriuhan khas media sosial lain, dan itu saya suka. Saya senang jika sesekali ada yang nyasar kesini lalu meninggalkan beberapa kalimat komentar. Namun, 0 view pun saya tetap bahagia. Mungkin itu yang membuat saya bahagia tinggal disini, karena sekali klik post, saya tidak berharap siapapun membacanya, malah saya yang biasanya membacanya kembali beberapa kali sekedar membetulkan kata yang salah ketik, dan lainnya.

Jadi berapa bulan pun tidak menulis disini, insyaAllah saya akan kembali kesini. Sebagaimana saat ini, post terakhir bulan Mei lalu, dan saya baru kembali lagi 3 bulan kemudian, dengan isi kepala yang sebenarnya banyak yang ingin ditumpahkan, tapi lagi-lagi terkadang kondisi tidak memungkinkan untuk menulis terlalu banyak hal.

Oke kita mulai (lagi-lagi) dari anak-anak. Terkhusus Ahnaf. Saya ingin menulis sesuatu yang sangat membahagiakan.

Ahnaf mengalami perkembangan kemandirian yang sangat baik sejak ditetapkan naik ke kelas 2. Sejak pembagian rapor beberapa waktu lalu, saya sering men-sounding-nya, dengan kata-kata seperti, “Ahnaf sekarang sudah kelas 2, berarti sudah bisa mandi sendiri ya” atau “Ahnaf udah kelas 2 ga boleh ais lagi ya”, maksudnya terutama tidak di-ais kalau mau mandi, tapi pada akhirnya, di berbagai kesempatan Ahnaf tidak mau di-ais lagi, bahkan ia sendiri yang mengingatkan ketika saya mulai gemas dan ingin menggendongnya, “Eh kan udah kelas 2” katanya dengan sumringah.

Perkembangan baik ini sudah terlihat sejak kami berlibur ke Surabaya. Di Surabaya, seingat saya, tidak sekali pun Ahnaf minta dimandikan, dia melakukan semuanya sendiri sampai berpakaian kembali. Namun, urusan toilet, waktu itu Ahnaf masih harus dibantu membersihkan dirinya sehabis pup, deg-degan juga apalagi menjelang kembali masuk sekolah.

Namun, kekhawatiran saya itu terobati ketika suatu hari sepulang sekolah Ahnaf dengan bangga bercerita bahwa ia pup di sekolah sendiri tanpa bantuan Ustadz-nya, dan demikian pula beberapa waktu kemudian dan kemudian, biasanya dia bercerita jika pup di sekolah. Alhamdulillah.

Demikian juga soal semangatnya berangkat ke sekolah. Setelah berjalan hampir 1 bulan ini, tidak pernah sekalipun Ahnaf merengek sebelum berangkat. Merengek saat dibangunkan mungkin masih terjadi sesekali, tetapi ketika ia sudah terbangun, ia akan berjalan sendiri ke kamar mandi, lalu mandi sendiri, dan seterusnya sampai berpakaian sendiri. Lalu, saat berangkat sekolah saya hanya cukup mengantarnya sampai depan pintu rumah, Ahnaf dengan ceria berjalan bahkan berlari kecil ke pinggir jalan. Alhamdulillah.

Ahnaf pun sepertinya senang di sekolah, tidak jarang sesampainya di rumah ia segera mengeluarkan hasil kerjanya di sekolah, dan menceritakan beberapa hal. Namun, satu hal yang sepertinya kurang saya gali, yaitu tentang sosialisasinya di sekolah. Ia main apa? Dengan siapa? Ngobrol apa dengan siapa? Coba deh mulai nanti sore kita mulai buka obrolan lagi ya…

Setiap Tanggal 25

Beberapa puluh meter dari rumah, berdiri gerai Mixue sejak beberapa bulan lalu. Di hari-hari pertama buka, seorang sepupu memperingatkan saya tentang status kehalalannya, “Hati-hati Teh, belum halal”, kurang lebih seperti itu inti pembicaraan kami. Sejujurnya saat itu saya tidak tahu banyak soal gerai eskrim tersebut, kecuali bahwa saya melihat gerainya banyak terlihat dimana-mana, sedang viral rupanya. Akhirnya saya menelusur, dan saat itu memang mereka belum mengantongi halal MUI meskipun sedang dalam proses.

Berselang lama, ramai juga pemberitaan bahwa mereka sudah halal, saya diam-diam saja, menghindari “diminta” anak-anak, tapi berita itu sampai juga ke Akhtar. Dan benar saja, Akhtar seketika minta beli eskrim disana, karena memang sudah sejak sebelum-belumnya ia membujuk saya, tapi tidak saya izinkan. Pada akhirnya, hari itu tanggal 25, tiga bulan yang lalu kalau ga salah, saya menemani anak-anak beli Mixue, dengan perjanjian, “Hanya boleh beli Mixue sebulan sekali ya?”. Karena hari pertama beli tanggal 25, maka bulan berikutnya tanggal 25 mereka tandai sebagai hari beli Mixue.

Saya mungkin belum terlalu ketat soal jajanan anak-anak. Meski tidak ketat, saya tetap membatasi. Sebagaimana anak-anak sudah hapal, kalau sama Mim mereka hanya boleh mengambil satu jenis jajanan untuk satu orang anak setiap belanja ke supermarket. Itupun nanti mereka akan mengambil jajanan yang berbeda-beda agar bisa saling berbagi.

Sesekali kami pun makan junkfood, tapi kenapa hanya Mixue yang ditentukan tanggal belinya? Karena gerainya sangat dekat dari rumah, terlebih ia digandrungi anak-anak seusia anak kami. Kalau tidak diberi aturan, kapan mereka mau, mereka bisa minta kapan saja, dong?

Saya senang anak-anak sejauh ini mematuhi komitmennya. Mereka tidak meminta di luar tanggal yang ditentukan. Alih-alih memaksa, mereka lebih senang menghitung jumlah hari menuju tanggal 25.