Susah Gampangnya Memilih Sekolah

Draft 16 Juli 2019

Memilih sekolah itu… susah susah gampang atau gampang gampang susah?

Menurut saya sih gampang gampang susah. Keliatannya gampang, padahal susah.

Disebut gampang karena sekolah-sekolah bertebaran dimana-mana. Mau pilih yang kayak gimana juga ada. Sekolah negeri dengan kurikulum full dari Diknas. Sekolah dengan kurikulum internasional. Sekolah yang mengusung nilai-nilai Islam. Yang full day atau half day. Yang pakai metode ini atau itu. Tinggal tunjuk. Asal mau daftar dan sanggup bayar sih, gampang. Ya kan?

Susahnya dimana?

Susahnya ketika kita ingin menyelaraskan pendidikan dalam keluarga dengan pendidikan di sekolah. Agak mustahil menemukan yang 100% cocok.

Ya iya lah…

Karena pendidikan dalam keluarga itu unik. Customized untuk setiap anggota keluarga. Sementara sekolah memiliki satu sistem atau seperangkat kurikulum yang diberlakukan untuk semua siswanya, walaupun ada sekolah-sekolah tertentu yang mengklaim kegiatan pembelajarannya disesuaikan dengan karakteristik/ keunikan setiap siswa.

Bagi saya, memilih sekolah untuk si sulung, yang tahun depan berumur 7 tahun, menjadi kegalauan tersendiri. Karena selama ini, kegiatan Akhtar tidak pernah keluar dari kendali saya, baik yang di dalam maupun di luar rumah.

Dengan keleluasaan saya sebagai emak RT, selama ini saya yang mendampingi Akhtar belajar apa pun. Akhtar adalah anak yang kritis, yang tidak berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban yang memuaskannya. Ia pun tipikal pembelajar mandiri yang tahu banyak hal karena inisiatifnya sendiri.

Asal-asalan memasukkannya ke sekolah membuat saya khawatir.

***

Lanjutan… (today)

Kekhawatiran saya ini pernah dianggap berlebihan oleh orangtua saya. Namun menurut saya wajar. Di zaman seperti ini pengaruh buruk bisa datang dari mana saja, bahkan dari institusi pendidikan bernama sekolah. Bahkan… Dari orang-orang yang kita percayai sebagai guru-guru anak kita.

Salah-salah, apa yang orangtua coba bangun selama 6 tahun pertama kehidupan anak bisa bubar karena salah memilih sekolah.

Meski… ya meski… Banyak orang berdalih… “Mau sekolah kayak gimana pun, yang penting pendidikan dari orangtua di rumah.”

Iya, betul. Saya tidak mengingkarinya 100%, pun tidak menyetujuinya bulat-bulat. Idealnya sih pendidikan di rumah dan sekolah itu sejalan. Hal itu penting untuk menguatkan karakter anak, menjadikannya seseorang yang teguh memegang prinsip, tidak mudah terbawa arus, sehingga timbul darinya rasa percaya diri, yang menjadi modal besar baginya untuk berkembang.

Tapi pada akhirnya… Pendidikan dengan bentuk apapun, hasilnya tetap kita serahkan kepada Allah. Tawakal. Teringat dalam buku Mencetak Generasi Rabbani, yang ditulis oleh Ustadz Abu Ihsan Al Atsary, kurang lebih beliau berkata… “Kita bisa membeli pendidikan yang mahal, tapi kita tidak bisa membeli hidayah Allah”.

Cukup jelas, dan tidak perlu penjelasan.

Lalu, apakah berarti kita ga perlu mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan anak? Ngga gitu juga. Di bagian lain buku itu, penulis kurang lebih mengatakan, agar kita menginvestasikan harta kita untuk pendidikan anak-anak dengan memilihkan guru-guru (sekolah) terbaik.

***

Cerita Celana Dalam

Ada satu waktu, dimana Ahnaf susah sekali dipakaikan pakaian sehabis mandi. Ia menggelinjang bak cacing kepanasan, lalu berlarian kesana kemari dalam kondisi t****jang.

Episode itu belum berakhir hingga sekarang, kini dengan improvisasi. Celana dalam yang baru dipakaikan ia buka lagi sendiri, lalu ia berlarian kesana kemari.

Saya yang lelah, akhirnya terduduk pasrah sambil memegang celana dalam bergambar kepala gajah.

Di sisi lain, Akhtar sudah memakai celana dalamnya yang bergambar mobil polisi.

A ha!

Saya lalu menyentuh gambar mobil polisi di celana Akhtar, seolah-olah memencet tombol, lalu meminta Akhtar menirukan bunyi mobil polisi.

Uwiw uwiw uwiw…

Ayo Adek jadi gajah. Nanti gajahnya dikejar sama mobil polisi ya?”, sahut saya.

Tak disangka, Ahnaf menyambut ajakan itu dengan excited.

Dia segera mengenakan celana dalam bergambar gajahnya lalu menirukan bunyi gajah setelah saya tekan ‘tombol’nya.

Mobil dan gajahnya baru bisa jalan kalau sudah pakai baju…”, kata saya.

Maka mereka pun mengenakan pakaiannya tanpa paksaan. Setelah berpakaian lengkap, saya tekan lagi ‘tombol’nya, lalu mereka pun berlarian saling berkejaran. Mobil polisi mengejar gajah, atau sebaliknya.

Maka, dalam situasi ini, pantaslah jika parenting disebut seni.

***

*Cerita dari kejadian nyata dengan dialog yang dimodifikasi sesuai ingatan hehe.

Akhtar yang Pertama

Draft lama, upload aja lah walaupun belum kelaarr ^^

***

28 Nov 2018

“Akhtar kan anak pertama, jadi mandi harus pertama, pakai baju yang pertama, makan yang pertama, mainan yang pertama, semuaaa yang pertama”, kurang lebih demikian celotehan Akhtar beberapa pekan lalu menanggapi omelan saya, “Kenapa sih harus Akhtar terus yang pertama? Kalau Ade Ahnaf yang minta duluan, ya ga apa-apa dong Ade Ahnaf yang pertama”.

Saya mengomel bukan tanpa sebab. Pasalnya, dalam segala hal Akhtar selalu ingin didahulukan. Kalau tidak, jurus “balikan lagi” dikeluarkannya tanpa ampun.

“Balikan lagi!”, seru Akhtar kesal, kadang dengan genangan air mata, bahkan tangisan hebohnya. Kata-kata itu diucapkan, salah satunya, ketika saya ‘salah’ melayani kebutuhan Ahnaf sebelum Akhtar.

Kalau sudah begitu, pilihannya hanya dua. Melayani permintaan “balikan lagi”nya atau tidak menggubrisnya namun harus sabar dengan tangisannya yang bisa berlangsung paling lama setengah jam.

Kalau permintaannya mudah dipenuhi, saya biasanya turuti. Tapi kalau susah saya jalani, apalagi menyusahkan adik-adiknya juga ya saya memilih bersabarrrr mendengar tangisannya kemudian. Tapi yang paling aman sih menghindari sebab si tangis itu pecah, yaitu dengan mengikuti aturan main dia untuk selalu mendahulukan kepentingannya di atas adik-adiknya.

Kok ga dikasih pemahaman aja? Iya, sambil kok. Tapi sungguh, saat ini nasihat tentang “berbagi” dan sejenisnya mentaaall gitu aja dari Akhtar.

Entah sedang masuk masa apa anak satu ini.

.

.

Duduk, Diam, dan Dengarkan

Bukan kayak gituuu, lihatin Akhtar nih tangannya kayak gini

Salah rukuknya, punggungnya harus lurus, matanya lihat ke tempat sujud

Kalau sujud hidungnya harus nempel

Duduknya kayak gini nih

Pagi itu, Akhtar berdiri di sajadah imam menghadap teman-teman PAUD-nya yang sedang belajar shalat dhuha. Dengan suara melengking yang terdengar seantero masjid ia mempraktikkan gerakan shalat yang menurutnya benar.

Sementara itu, Kak Sani dan Kak Syiru pun sedang mendampingi anak-anak shalat, sambil mengajarkan bacaan shalatnya.

Dari kejauhan saya memerhatikan polah tingkah Akhtar yang tampak mendominasi teman-temannya. Sesekali ia menunjukkan ekspresi kesal dengan nada bicara sedikit gemas karena beberapa anak tidak mau mengikutinya.

Lama-lama saya gemas juga melihat Akhtar. Lantas menghampiri Kak Syiru untuk meminta izin bicara pada Akhtar.

Akhtar ngga ikut teman-temannya shalat dhuha?“, saya mengajak Akhtar bicara dengan sedikit berbisik dari balik mimbar dekat tempat imam.

Mim.. sebentar, Akhtar lagi ngajarin teman-teman gerakan shalat

Akhtarnya kok ga ikutan shalat?

Ia tampak tak menggubris perkataan saya.

Akhtar sini deh Mim mau bicara

Iih.. Mim jangan gitu..

Akhtar.. sini Mim mau bicara sebentar

Akhirnya ia menghampiri.

Akhtar, Kak Sani dan Kak Syiru kan lagi ngajarin teman-teman Akhtar shalat. Akhtar diam, jangan ikut bicara ya. Kalau Kak Sani dan Kak Syiru sedang bicara, Akhtar duduk, diam, dan dengarkan, oke?” Saya berkata dengan memberi penekanan pada kata-kata duduk, diam, dan dengarkan.

Saya mengulangnya sekali lagi, sampai Akhtar menjawab, “Oke“.

Untuk anak setipe Akhtar saya merasa perlu melakukannya karena kalau tidak ia akan bicara terus menerus bahkan di saat seharusnya ia diam.

***

Kejadian di PAUD kemarin itu mengingatkan saya untuk sedikit demi sedikit mengajarkan adab menuntut ilmu kepada Akhtar, termasuk di dalamnya adalah adab seorang murid terhadap gurunya. Karena keberkahan ilmu salah satunya didapat dengan berakhlak mulia terhadap guru.

Sejauh ini, belum pernah secara khusus saya sampaikan materi tersebut kepada Akhtar, hanya dari beberapa kelas PAUD terakhir saya mulai membiasakan Akhtar berpakaian rapi ke PAUD sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada guru dan ilmu, selain juga karena lokasi PAUD-nya berada di dalam masjid sehingga sudah semestinya ia berpakaian yang baik. Rapi, bersih, dan wangi.

***

Sebenarnya saya yang minta kemarin Bund.. Shalat dhuha sendiri-sendiri, tapi karena Azam dan Fattah gerakan Shalat nya masih belum teratur, akhirnya saya minta Akhtar. Dan karena Akhtar sepertinya mengerti kalo shalat dhuha itu munfarid, jadi Akhtar selesai shalat duluan”, demikian saya mendapat balasan pesan WA dari salah seorang guru PAUD Akhtar ketika saya membuka pembicaraan dengan memohon maaf jika Akhtar mengganggu konsentrasi teman-temannya saat belajar shalat dhuha kemarin.

Saya sejenak termenung. Pelajaran penting lainnya, tanyakan pada anak alasan yang mendasari tingkah lakunya, sebelum berprasangka.

#shineonbatch2

Buku Anak

Memiliki anak membuat saya -tentu saja- lebih melek terhadap buku-buku anak. Daftar belanja buku pun bergeser. Yang dulu semasa lajang memilih buku untuk kesenangan pribadi aja… Seperti novel-novel keluaran terbaru, buku-buku rekomendasi pembaca Goodreads (btw masih eksis ngga ya sosmed perbukuan ini?!), dan buku-buku yang membuat kita, eh saya, merasa keren ketika membacanya. Hihi…

Setelah punya anak, alokasi uang belanja buku lebih banyak untuk buku anak-anak. Saya sih paling hanya beli satu atau dua buku terkait agama atau parenting per berapa bulan sekali. Itu pun awet bacanya alias ga kelar-kelar hahahaha. Antara males baca, ga sempet, dan mumet mraktekinnya… hadeuh.

Terkait isi buku pun menjadi lebih selektif, mengingat banyak buku-buku zaman old yang pada akhirnya dikeluarkan dari rak buku karena isinya sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman now. Maka, jika sekali-kalinya beli buku lebih memilih buku yang bersifat referensi (eh tepat ga ya penggunaan kata referensi disini), yang saya maksud adalah buku-buku yang bisa kita baca kapanpun jika kita membutuhkan informasi tertentu, bukan buku sekali baca yang setelah itu hanya dipajang di rak buku. Masuk kategori ini adalah buku-buku sejarah dan agama.

Balik lagi ke buku anak…

Dalam 5 tahun terakhir saya (sedikit) memerhatikan dinamika buku-buku anak, dan mendapatkan fakta menggembirakan ketika sekarang ini buku-buku bagus (dari segi konten, bahan kertas, dan ilustrasi) tidak hanya milik penerbit buku-buku mahal. Bahkan banyak buku favorit saya (yang saya paksakan jadi buku favorit anak-anak juga haha) bukanlah buku-buku mahal yang berharga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, melainkan ‘hanya’ buku-buku tipis murah namun konten dan ilustrasinya amat memikat.

Kini banyak pula buku-buku anak Islami yang gambar makhluk hidupnya sudah dihilangkan bagian wajah atau bagian tubuh tertentu demi tidak meniru ciptaan Allah.

Seiring dengan pesatnya perkembangan buku-buku murah berkualitas ini, saya merasa (hanya berdasarkan perasaan saya aja lho yaa…) promosi buku berharga jutaan yang biasa dijual secara arisan itu semakin hari semakin sedikit bahkan menghilang dari timeline medsos saya. Saya pun bersyukur bahwa dulu tidak sempat memiliki buku-buku tersebut walaupun sangat ingin. Karena secara hitung-hitungan mak irit macam saya, buku-buku tersebut tidak masuk dalam radar budget saya.

Oh ya tentang konten buku, orangtua sangat dimudahkan dengan bermunculannya penerbit buku khusus anak muslim sehingga kita tidak selalu harus memeriksa setiap halaman buku secara detail, namun cukup kenali latar belakang penerbitnya dan kita bisa yakin tentang keshahihan isi buku tersebut.

Karena tidak sedikit buku anak yang terkesan Islami nyatanya kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Akhtar dan Pap

“Akhtar sayang banget sama Mpap… kangeeen…”, teriaknya sambil ‘dadah-dadah’ dari balik jendela ruang tamu ke arah Pap yang baru saja selangkah keluar dari gerbang rumah.

Ya, inilah ritual kami sepekan sekali. Yang seringkali mengharukan adalah celotehan Akhtar ketika mengantar Papnya pergi, bikin bapeeerrr.

Pernah suatu hari yang lain, belum lagi berjam-jam dari keberangkatan Papnya, si sulung ini menghampiri saya yang sedang bersiap-siap shalat, terlihat raut sedih dari wajahnya.

“Akhtar kenapa?”, tanya saya.
“Akhtarnya sedih karena Pap pulang”, jawabnya dengan wajah murung. Lalu saya berusaha menghibur sebisanya.

Saya shalat, dengan konsentrasi terpecah, karena merasakan Akhtar gelisah, bolak balik ke dalam lalu keluar kamar tidur, lalu ke dalam dan keluar lagi. Dari tempat saya shalat (di ruangan sebelah kamar tidur) saya bisa mendengar Akhtar menjatuhkan badannya di atas ranjang lalu bangkit lagi.

Selesai saya shalat, ia menghampiri saya dengan tangis tertahan, “Akhtar sayang sama Mpap”. Saya dekap tubuhnya dan usap-usap punggungnya, “Iya Akhtar, sabar ya, nanti kan Pap pulang lagi kesini”.

*

Kebiasaannya yang lain lagi, jika Papnya bersiap-siap akan berangkat, Akhtar akan berkata, “Pap kerjanya disini aja”, lalu hanya akan di’amin’kan oleh kami. 

Setelah itu Akhtar akan mengantar Pap sampai teras dan beberapa dialog yang seringkali terjadi adalah seperti ini:

“Nanti pulangnya hari apa?” Papnya akan menjawab Jumat atau Sabtu.

“Pulangnya naik apa?” Papnya akan menjawab naik bus atau kereta, kadang-kadang travel.

Lalu ditutup dengan, “Hati-hati yaaa… kalau Akhtar kangen nanti telepon yaa… dadaaah”. Papnya akan mengucapkan salam dan Akhtar baru akan masuk setelah Pap hilang dari pandangan.

*

Apa yang saya rasakan dengan ini?

Yang pertama-tama, bersyukur. Bersyukur karena walaupun secara fisik tidak bisa bersama setiap hari, saya melihat Akhtar dan Papnya memiliki kedekatan hati. Insya Allah ini akan menjadi bekal yang sangat penting untuk perkembangannya. Kedekatan dengan ayah dikatakan memiliki banyak manfaat diantaranya bisa membuat anak tumbuh menjadi seorang yang percaya diri, cerdas, stabil emosinya, dan lain-lain, bisa ditelusur di google hehe.

Yang kedua, bersyukur lagi, karena Akhtar mampu mengungkapkan perasaannya secara terbuka kepada orangtuanya. Bersyukur karena saya ga biasa seperti itu, pun suami saya kepada orangtuanya. Keterbukaan menunjukkan kepercayaan, dan semoga Akhtar akan tetap seperti itu, terutama kelak di masa-masa pra baligh atau menuju dewasa, dimana ia akan bercerita/ bertanya segala hal kepada orangtuanya terlebih dahulu sebelum mencari yang lain. 

Oleh-Oleh Workshop

Dua hari kemarin, tanggal 24-25 Februari 2018, saya mengikuti workshop membuat kurikulum pendidikan rumah anak usia dini, yang mana pematerinya adalah Teh Mierza Miranti, pemilik blog klastulistiwa.com dan praktisi homeschooling yang saat ini berdomisili di Kota Bogor.

Mumpung masih anget dan inget, saya bagikan sedikit yang saya dapat di workshop tersebut berdasarkan catatan dan ingatan saya yang ngga seberapa. Khususnya saya tulis disini sebagai pengingat bagi saya untuk mengamalkan ilmu yang sudah saya terima.

Poin-poin yang saya catat terutama terkait dengan tips-tips parenting dan beberapa hal lain yang saya anggap ‘baru’ dan mencerahkan. Sementara materi yang bisa dengan mudah di telusur di mesin pencarian, seperti definisi beberapa terminologi, tidak saya masukkan di tulisan ini. 

***

Homeschooling karena kecewa dengan persekolahan. Yes or no?

Jangan memutuskan HS karena anak memiliki masalah di sekolah. Contoh: 

– mengalami perundungan (bullying) 

– tidak memahami pelajaran tertentu

HS adalah pilihan yang nantinya akan ditanyakan/ dipertanggungjawabkan di akhirat, bukan pelarian atau obat. 

Jika anak mengalami masalah di sekolah, maka selesaikan dulu masalahnya, obati dulu penyakitnya. Keputusan HS harus di atas alasan/ landasan yang benar. 

Fenomena zaman sekarang, orang yang terpapar medsos tanpa memahami literasi media cenderung mengaplikasikan apa yang terjadi di dunia maya ke dunia nyata. Misalnya: perilaku lari dari masalah. Perilaku seperti left group, unfriend, block, unfollow, ketika seseorang tidak menyenangi sesuatu di dunia maya, diaplikasikan di dunia nyata dengan lari dari masalah, bukan menyelesaikannya.

*

Visi keluarga muslim Homeschooling

Visi 666 –> At Tahrim ayat 6

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

Sebagian peserta workshop, ada yang ragu-ragu menjawab, “Masuk surga”, ketika ditanya tentang visi, sebelum kemudian tercerahkan dengan visi 666 ini.

Setiap orang yang meninggal dalam keadaan beriman akan masuk surga, dengan rahmat Allah, hanya… bagaimana perjalanannya menuju surga? Karena tidak ada jaminan seseorang bisa lolos dari api neraka.

Maka, setiap melakukan tindakan/ aktivitas bersama anak dan keluarga, pikirkan dulu 

“Apakah bermanfaat untuk akhiratku?”

*

Mengajarkan TAUHID yang BENAR kepada anak

Orangtua jangan jadi wasilah bagi anak untuk menyekutukan Allah. Misalnya dengan memberikan tontonan yang mengandung syirik, lalu anak mengikutinya, contoh: cerita ibu peri/ jin yang mengabulkan permintaan apapun.

Kita bertanggungjawab pada apa yang kita masukkan ke dalam rumah kita, seperti televisi, buku, mainan, dll. 

Ketika memilih tontonan, hati-hati dengan subliminal message (pesan terselubung) pada acara tersebut.

Kalau anak meminta sesuatu suruh minta ke Allah, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun. 

Contoh dialognya:

Anak: “Bunda, ade mau permen”

Ibu (tidak mengizinkan anak makan permen): “Mintanya sama Allah ya, berdoa semoga Allah bukakan hati Bunda agar mau ngasih permen ke ade”

Kalau memang orangtua tidak mau mengabulkan permintaan anak, tetaplah konsisten, jangan mudah luluh karena terharu dengan doa anak.

*

Tentang doa untuk orangtua

QS Al Isra 24

“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Berharap anak mendoakan kita dengan doa tersebut? Maka penuhi dulu syaratnya, yaitu:

Didiklah mereka waktu kecil

*

Tentang mengajak anak yang belum baligh belajar shalat

Contoh dialog:

“Nak, mau shalat maghrib?”, ibu bersiap untuk shalat, mengajak anaknya.

“Ngga mau”

“Ya udah nanti ikut shalat isya ya… ”

Jangan sekali-kali menjawab 

“Ya udah ga apa-apa”

Karena itu “apa-apa”

Tahapan shalat sebelum anak 7 tahun:

– thaharah

– Alfatihah dan surat-surat pendek

– wudhu

– ajari shalat

– mendampingi

– pembiasaan

– ajakan yang positif (seperti contoh di atas)

*

Jadwal vs target

HS tidak perlu terlalu kaku seperti sekolah, dengan menetapkan jadwal hari ini, jam segini sampai jam segitu harus belajar apa.

Lebih tepat menggunakan ‘target’ apa yang ingin kita ajarkan ke anak-anak dalam kurun waktu tertentu.

Contoh yang diterapkan Teh Mierza di rumahnya. 

Target 1 hari, mempelajari:

2 ilmu diniyah

2 pekerjaan umum

2 pelajaran umum

Orangtua yang memberi silabus, anak yang memilih apa yang mau ia pelajari.

Ada pula aktivitas yang bisa ditetapkan jadwalnya, seperti bangun, tidur, shalat, makan, mandi, dst.

*

Tentang manajemen waktu

Menurut Teh Mierza, bagi beliau bukan manajemen waktu yang penting, tetapi prioritas. 

Misal:

Ketika anak meminta kita menemaninya belajar, sementara kita memilih untuk sibuk beberes misalnya, maka anak akan menilai bahwa prioritas orangtuanya adalah rumah rapi, bukan anak-anak. 

*

Tujuan beraktivitas

Apapun aktivitasnya, kata kuncinya adalah “Apa manfaatnya aktivitas tersebut untuk akhiratku?”

Setiap aktivitas harus punya tujuan.

Misal, kita hendak mengajak anak ke kebun binatang, maka komunikasikan kepada anak, “Ayo ke kebun binatang, kita belajar a, b, c, d, dst”

Tetapkan niatnya dulu, walaupun di kebun binatang lebih banyak mainnya.

Kalau perlu bikin ceklis, apa saja yang mau dipelajari. 

Mau belajar apa? 

– sains

– bahasa

– sosial

– dst

Sebelum berangkat, “sarapan ilmu” dulu. Diskusikan dengan anak, mau belajar apa. Jangan berangkat dalam keadaan kosong. Hal ini lah yang biasa terjadi pada mahasiswa di negara kita. Seharusnya mahasiswa datang ke kelas untuk bertanya pada dosen, bukan hanya duduk menerima materi saja.

*

Tentang adab belajar

Ingat… yang benar itu bermain sambil belajar, bukan belajar sambil bermain. Penting untuk mempelajari adab belajar.

Para orang shalih terdahulu, belajar adab dahulu sebelum ilmu.

Misal, meminta anak untuk duduk anteng/ konsentrasi pada suatu materi selama rentang waktu tertentu. Rentang konsentrasi (jumlah menit si anak mampu duduk anteng) ekuivalen dengan usianya.

Anak 4 tahun harus bisa konsentrasi setidaknya 4 menit menyimak suatu materi pelajaran, setelah itu beri jeda bagi anak untuk melakukan aktivitas lain selama beberapa waktu, lalu kembali lagi belajar selama minimal 4 menit, dst.

*

Pembelajaran dengan lagu

Musik/ lagu dalam proses belajar membuat konsentrasi anak terdistraksi.

Lagu itu terdiri dari dua unsur yaitu nada dan isi. Bagus kalau yang masuk adalah isinya, tapi apakah siap dengan resikonya dimana anak hanya menangkap nadanya saja tanpa isi?

Karena lagu itu melalaikan, mengalihkan, mengganggu; atau mendistraksi. 

Bahkan metode belajar montessori yang dikembangkan BUKAN oleh orang Islam pun tidak menggunakan lagu dalam aktivitas belajar mereka, dengan alasan yang sama seperti di atas. Didukung pula oleh penelitian yang menemukan fakta yang sama.

*

Berkata Baik atau Diam

Lebih banyak memberi contoh daripada berkata-kata. 

Contoh: kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Rasulullah tidak memarahinya, namun langsung mengambil air dan menyiram bekas kencing tersebut, untuk memberi contoh kepada sahabat-sahabatnya cara membersihkan najis dari kencing tersebut.

Komunikasi efektif a la Nabi:

1. Tujuan atau niat. Sebelum berbicara, pikirkan dulu apa niat berbicara itu. 

2. Pikirkan kandungan makna dan pilihan katanya.

Ketika mengajari anak, lebih baik duduknya berdampingan. Kecuali untuk pelajaran yang mana guru dan murid butuh berhadapan, seperti tahsin.

*

Kurikulum Muslim HS

Apa yang dipelajari?

Aqidah

Fiqih

Adab

Alquran (tahsin, tahfidz)

Hadits

Sirah nabi dan sahabat

Bahasa Arab

Menulis (syair)

Bicara di depan umum

Bahasa asing lain

Fisik

*

(Semakin) Selektif Memilih Buku Anak

Seiring semakin kritisnya si anak 4,5 tahun, seringkali saya mendapat pertanyaan-pertanyaan tak terduga yang kemudian membawa saya ikut bertanya dalam hati, “Oh iya ya.. kenapa bisa gitu ya…”.

Sayangnya, saya kurang rajin mengabadikan pertanyaan-pertanyaan ‘ajaib’ itu sehingga lupa, anak pernah bertanya apa saja, apa yang sudah saya jawab sampai anak puas, apa yang belum saya jawab karena saya ga tahu jawabannya, apa yang jawabannya ngambang dan memaksa anak berhenti bertanya. 

Catatan: proyek berikutnya, mau bikin papan khusus untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan Akhtar

Salah satu hal kritis yang ia tanyakan adalah perihal binatang-binatang di buku yang bisa berperilaku seperti manusia, seperti berbicara, berpakaian, berdiri dengan dua kaki. “Kenapa?” Tanyanya. Saya seringkali ga bisa menjelaskan, selain mengatakan, “Itu hanya ilustrasi yang dibuat penulisnya…”, dan akan bersambung dengan kenapa-kenapa-kenapa yang lainnya. 

Padahal, ilustrasi binatang yang berperilaku seperti manusia itu juga banyak terdapat pada buku-buku anak islami lho. Ada juga buku anak islam yang secara konten bagus, ada dalil dan kisah yang shahihnya namun kekurangannya yaa itu… masih menggambarkan binatang-binatang yang bisa berbicara dan berpakaian laiknya manusia.

Dari situ saya berpikir ulang tentang menyeleksi buku anak. Ternyata buku berkonten islami saja tidak cukup, buku juga harus punya ilustrasi yang masuk akal. Anak-anak memang senang berimajinasi, tapi jangan sampai keluar dari fitrahnya. Bahwa pada asalnya, dimana pun di bumi Allah ini, binatang itu selamanya tidak akan berbicara seperti manusia, berpakaian seperti manusia, atau berdiri seperti manusia. 

Akhtar dan Alquran

Salah satu kasih sayang Allah untuk keluarga kami adalah dikaruniakannya kepada kami seorang anak yang cukup lekat dengan Alquran. 

Tentang pentingnya kelekatan anak dengan Alquran sebenarnya baru saya sadari beberapa waktu ini saja, sekitar 1+ tahun terakhir, sejak ikut belajar via whatsapp dengan salah seorang member Sabumi, yang anaknya sudah hapal beberapa juz sebelum usianya 7 tahun.

Beberapa usaha yang beliau lakukan diantaranya, selalu memperdengarkan murottal Alquran dalam setiap kesempatan dan menjaga pendengaran anaknya dari hal-hal yang tidak bermanfaat, maka dari itu bahkan di jalan pun si anak selalu diperdengarkan Alquran lewat music player.  

Wah… saya sih (waktu itu) belum segitunya sama Akhtar. Walaupun punya VCD murottal juz 30, ya hanya sesekali saja diputar. Malah waktu bayi lebih banyak diperdengarkan musik anak-anak berbahasa Inggris dari tablet (itu lho…. tablet s*msung yang raib dari tas si Mpap waktu naik ojek ke kantor… #gagalmoveon).

Terinspirasi dari cerita tentang anak penghapal Alquran itu, akhirnya saya coba terapkan itu ke Akhtar. Waktu itu Akhtar sudah hapal 99 Asmaul Husna pada usia 2+ tahun, karena sangat sering diperdengarkan lantunan Asmaul Husna… kenapa kok saya ga kepikiran menerapkan itu juga untuk metode menghapal Alquran? Ah ya… jawabannya, karena kami pun orangtuanya belum sebegitu lekat dengan Alquran. Sedih…

Ternyata, memperdengarkan Alquran terus menerus pada anak, menghasilkan dampak yang luar biasa pada perkembangan hapalannya. Anak-anak itu cepat… sangat cepat sekali menyerap dan menghapal… bahkan tanpa menghapal. 

Dengan bermodalkan hp yang saya pakai sehari-hari, saya download aplikasi Alquran dari playstore. Dari beberapa reciter/ qori yang tersedia di aplikasi, saya pilih Syaikh Mishari Rasyid, yaa… lagi-lagi terinspirasi dari anak penghapal Alquran itu yang juga memfavoritkannya. Lalu, mulailah dari situ saya putarkan murottal Alquran hampir sepanjang hari.

Awalnya Akhtar hanya mendengarkan murottal sambil tetap beraktivitas yang lain, lalu tahap berikutnya ia mulai mendengar sambil memegang hp dan ‘membaca’ ayat demi ayat dari hp saya. Selanjutnya, tanpa saya paksa, ia mulai minta untuk diperdengarkan Alquran, misalnya ketika akan tidur. Lama-lama, mendengar sambil mengikuti bacaan sang qori, dan setelah itu… ya jalani saja sesuai dengan tahapannya.

Yang amazed adalah ketika melihat Akhtar bisa membaca Alquran, tanpa pernah saya ajari. Walaupun masih jauh dari sempurna hukum-hukum tajwidnya, bahkan masih suka salah membaca harakat-nya, tapi Akhtar sudah bisa membaca huruf demi huruf, hingga selesai satu ayat… dua ayat… dst.

Puncaknya adalah ketika awal November 2017 lalu, Akhtar mampu membaca 1 juz Alquran, yaitu juz 30. Saya pikir, ia bisa melakukannya karena hapal. Tapi ketika saya tantang untuk tasmi tanpa membaca, katanya “Akhtar ga hapal kalau ga baca”, terutama untuk surat-surat yang cukup panjang. Ma syaa Allah… laa quwwata illa billah… sesungguhnya saya ga melakukan apapun untuk membuat Akhtar seperti itu. Murni, semuanya atas pertolongan dan kasih sayang Allah.

Kadang-kadang saya perhatikan juga bacaan Akhtar. Untuk beberapa kesalahan, ia enggan dikoreksi, tapi sekarang jika sedikit-sedikit saya koreksi, ia menerima. 

Sekarang, hapalannya sudah lebih banyak dari saya. Bahkan Akhtar juga hapal potongan ayat-ayat yang sering ia dengar, yang tersebar di beberapa surat dalam Alquran. Duh rasanya malu kalau kita ga bersikap yang sama terhadap Alquran. Kini, hapalan saya mandeg, tilawah pun belum rutin jadwalnya.

Mungkin ini baru tahap awal banget mendekatkan anak dengan Alquran. PR selanjutnya masih banyaaaak banget, terutama bagaimana membuat anak-anak kelak menjadikan Alquran sebagai rujukan pertama dan utama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup. 

Bismillah… 

Balita Tidak Boleh Diajari Membaca?

Saya beprinsip untuk tidak terlalu dini mengajari Akhtar membaca. Apa urgensinya? Saya pikir. Bukankah lebih baik anak seusia itu diajari adab-adab baik yang akan menjadi kebiasaannya hingga dewasa? Mendekatkan anak dengan buku di usia dini bukan dengan mengajarinya membaca, tapiii.. dengan membacakannya buku.

Tapi… prinsip itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Akhtar (terlanjur) bisa membaca di usianya yang saat itu masih 3 tahun 2 bulan. Itu pun bukan saya yang mengajari, melainkan neneknya. Ada perasaan bersalah ketika melihat Akhtar diajari membaca, “Sudah.. sudah.. ga usah.. nanti aja.. masih terlalu kecil..”. Tapi toh saya melihat Akhtar menikmati proses belajarnya. Saya membuat banyak batasan agar Akhtar tidak terlalu sering diajari membaca. Namun anak-anak itu cepat sekali menyerap pelajaran. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mempelajari hal baru.

Setelah saya pikir ulang… rasanya ga ada salahnya anak balita bisa membaca. Ambil positifnya aja.. di waktu-waktu tertentu ia bisa menjadi pembelajar mandiri dengan memilih dan membaca buku yang diinginkannya. 

Bagi Anda yang ingin mengajari anak membaca di usia dini, saya ingin berbagi sedikiiit tips berdasarkan pengalaman saya. 

1. Niat

Setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya kan? Periksa dulu niat di hati masing-masing, dengan tujuan apa mengajari anak usia dini membaca? Kalau hanya untuk menuai pujian atau membuat anak terlihat menonjol dibandingkan anak lain, urungkan dulu niat untuk mengajari mereka membaca.

2. Beri Rangsangan yang Tepat

Anak-anak tidak ujug-ujug tertarik pada sesuatu kalau sebelumnya kita tidak mengenalkannya pada hal tersebut. 

Sebenarnya, menurut saya rangsangan yang paling tepat agar anak mau belajar membaca adalah dengan mengenalkannya pada buku, rutin membacakannya, dan memperlihatkan budaya senang membaca di hadapannya. 

Di samping itu, kita bisa menempel poster huruf-huruf agar anak bisa mulai mengenal simbol huruf dan ‘membacanya’ setiap saat.

3. Metode yang Tepat

Setiap orangtua yang mengamati perkembangan anaknya, pasti paham metode belajar seperti apa yang cocok diterapkan pada anaknya.

Dalam hal membaca, Akhtar pakai buku belajar membaca yang disusun neneknya untuk mengajari murid-murid kelas 1 di sekolah. Jadi, Akhtar belajar sambil duduk manis memerhatikan buku.

Anak yang lain mungkin belajar sambil bergerak, loncat-loncat, berkisah, crafting… de el el. Orangtua masing-masing yang paling tahu kan :)

4. Jangan Dipaksa

Menurut saya ini poin yang paling penting. Jangan memaksa anak pra sekolah, apalagi anak usia dini, belajar membaca kalau mereka tidak ingin. Jangan membanding-bandingkan satu anak dengan yang lain. Jangan baper kalau lihat anak seusia anak kita memiliki kemampuan yang tidak dimiliki anak kita. Fokus aja pada perkembangan anak kita, dengan terus memberi rangsangan yang tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

5. Sebisa mungkin, anak diajari membaca oleh orangtuanya sendiri.

Menurut saya, hal itu memberikan beberapa keuntungan, diantaranya: Membangun kedekatan orangtua dengan anak. Trus HEMAT cuy.. haha. Daaan… keuntungan yang tidak terhitung adalah… pahala yang tidak terputus jika si anak menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Iya… amal jariyah dari ilmu yang bermanfaat kan? :)

Maka, setelah anak bisa membaca, tugas kita berikutnya adalah mengarahkan anak untuk membaca ilmu-ilmu yang baik saja, antara lain dengan memfasilitasinya dengan buku-buku yang bermanfaat untuk kehidupan dunia, terutama akhiratnya.

***

Okey… panjang ya… Haha…

Kalau sedikit saya simpulkan…

Buku itu katanya jendela dunia, kuncinya adalah dengan membaca. Tapi sekedar ‘bisa membaca’ tidak menjadikannya bisa menjelajahi dunia. Maka ajari mereka untuk mencintai ilmu, dan menjadi sebaik-baiknya manusia dengan ilmu tersebut.