PUZZLE (Part 2) – Masih di Carita

Tiba-tiba aku ingaaat …

Lagi-lagi tentang 3 tahun pertamaku di dunia, di Pantai Carita :)

Aku ingat, saat itu usiaku mungkin belum genap 2 tahun, Mamah sangat kaget mendapatiku terduduk di depan cermin, di atas meja rias. Aku duduk membelakangi Aa (masih berumur 4 tahun) yang sedang memegang gunting dan sisir. Mamah dengan teriakan tertahan, “Aa … itu rambut Dedek diapain?”. Saat itu kepalaku udah setengah gundul sodara-sodara. Dengan polosnya Aa menjawab, “Kan milip Dulan Dulan”, cadel mode:on. Maksudnya Duran Duran (band pop Inggris yang ngetop tahun 1980an). Sebelum terjadi kegundulan yang lebih parah, Mamah segera menyita gunting dan sisir yang Aa pegang. Menggendongku ke belakang rumah, dan … menggunduli kepalaku. Huaaaaaaaaaa. Beberapa lama, Mamah membawaku kembali ke dalam kamar, dan mendudukkanku di depan cermin. Kali ini aku yang terkaget-kaget. Dengan nada sangat memelas aku hampir menangis, “Rambut Dedek kemanaaa?”, kataku sambil memegangi kepala yang kali ini benar-benar gundul. “Dedek sih mau aja diguntingin rambutnya sama Aa”, said Mamah dengan nada kesal. Wekekeke … duh duh kasiannya diriku :(

Aku ingat, kaca jendela salah satu kamar di rumahku pernah pecah, gara-garaaaaa … ditendang Aa. Wow … jagoan kan? Aku ga begitu ingat hari itu si Aa nakal kayak gimana. Saking kesalnya, Bapa dan Mamah mengunci Aa di dalam rumah, sementara kami (Enyak, Babe, ma gw) di luar rumah. Tiba-tiba dari salah satu kamar terdengar, “Praaaaang!!!”. Kaca jendela kamar pecah, Aa menjerit kesakitan, darah bercecer dimana-mana. Aku menangis menjerit-jerit … hiiiiiiii liat darah bercecer gituuu. Bapa (aku juga ikuuuut) segera membawa Aa ke rumah sakit terdekat, dan kena deh kaki si Aa beberapa jahitan. Masih ada tuh bekasnya ampe sekarang. Hihihi … kasiannya Aa-ku.

Di belakang rumahku ada selokan kecil, hmmm … tidak cocok disebut selokan juga sih, karena hanya berupa genangan air yang memanjang sepanjang belakang rumahku sampai masuk ke dalam hutan. Di genangan itu, hidup buanyaaaaaaak cacing (hiiiiiiiiihhhh) berwarna merah, kecil-kecil, pendek-pendek, tipis-tipis, hidup berkelompok, dengan menempel pada batu-batu atau dinding-dinding genangan air itu. Pertanyaannya, jenis cacing apakah ituh???

Pada satu hari, aku diajak ke studio foto. Mamah mendandaniku. Dengan baju terusan berwarna merah, yang panjangnya sebatas lutut, bagian kerahnya menutupi leher (weks serasa dicekik), berlengan panjang. Aku memakai sepatu berkancing dan kaos kaki putih cantik berenda dan berpita. Rambutku diikat ekor kuda, dengan menonjolkan jidatku yang memang sudah menonjol (nong-nong, kalau orang Sunda bilang hehehe …). Itu adalah kali pertama aku berhadapan dengan seorang fotografer, di salah satu studio foto yang luas, dengan pencahayaan yang terbatas. Grogi luar biasa. Si fotografer itu berusaha mengarahkan gaya (bandingkan dengan sekarang, yang dengan sangat senang hati beraksi di depan kamera, tanpa pengarah gaya, bahkan tanpa permintaan si empunya kamera … wekekeke), “Coba kepalanya dimiringkan sedikit, coba roknya dipegang terus dilebarkan”. Bisa bayangkan gayaku saat itu??? Kedua tanganku memegang rok di samping badan, dilebarkan (bayangkan seorang penari memegang selendang dan melebarkannya ke samping), kepalaku sedikit menunduk (maluuu … ), tanpa senyum, dan satu hal yang paling merusak, rasanya sulit untuk tidak menggerak-gerakkan kakiku saat itu (saking groginya), ketika tombol kamera ditekan, “JEPRET!!!” (kira-kira seperti itu bunyinya :p), kaki kananku dalam posisi yang tidak wajar. huahahaha … duh gimana yah ngejelasin posisi tuh kaki :p. Pengalaman yang memalukan!

Aku ingat … aku ingat … waktu kecil, aku adalah seorang yang lucu dan cantik :p huahahaha, tapi amat sangat pemaluuuuuuuuu, tidak bisa cepat akrab dengan orang-orang yang baru kukenal. Ketika aku berada dalam gendongan Mamah atau Bapa, dan seseorang yang tidak kukenal menyapa, “Ini Neng Puput yaaa … “, sambil berusaha menjawil-jawil pipiku, aku akan memalingkan muka dan tidak jarang … ehm … menangis … hihihihi. Malu-maluin banget deh.

Aku sering banget nangis. Hehehehe. Dulu kami punya sebuah tape recorder yang iseng-iseng sering Mamah pake untuk merekam celotehan anak-anaknya yang lucu-lucu (bayangkan 4 dan 2 tahun gitu lhoooo :P), merekam kami menyanyi, dan merekam aku MENANGIS. Hahaha. Pernah satu hari ketika kami sedang memutar kaset lagu “Satu-Satu” (kasetnya sampai sekarang masih ada), aku menangis (lupa gara-gara apa), dan tanpa ampun Mamah langsung merekam tangisanku di kaset itu, jadilah ada bagian lagu di kaset itu yang hilang tergantikan oleh suara tangisku yang merdu. Setelah beberapa lama merekam. Mamah memutar rekaman itu dan memperdengarkannya langsung di telingaku, “Hayo, suara nangis siapa ini???”, Mamah meledekku. Aku langsung terdiam, dan berpikir, “Ternyata suara tangisku itu sama sekali tidak merdu.” Hahahaha …

Udah ah … sambil mengingat-ingat kejadian apalagi yang bisa aku ceritakan (Masih di Carita)

Indahnyaaaa …

Leave a comment